Saat pertandingan sepak bola berujung perang antara El Salvador dengan Honduras
Sumber gambar, Getty Images
Sentuhan Jose Antonio Quintanilla berhasil membelokkan bola sedikit saja, tapi itu cukup untuk mengecoh kiper.
El Salvador pun berhasil mengalahkan negara tetangganya Honduras dengan angka 3-2, tanggal 27 Juni 1969.
Pertandingan itu bagian saja dari kualifikasi Piala Dunia tahun 1970. Tapi orang mengingatnya karena dianggap memicu perang antara kedua negara.
Bulan Juli di tahun yang sama, selama sekitar 100 jam yang kacau, kedua negara di Amerika Tengah itu terlibat perang.
Diperkirakan 4.000 orang tewas dan 10.000 terluka, serta ratusan ribu mengungsi akibat perang tersebut.
Sumber gambar, Getty Images
Durasi perang yang singkat itu kalah penting dengan fakta bahwa pemicu perang adalah pertandingan sepakbola, sehingga perang ini dikenal dengan nama "Perang Sepak Bola".
"Judul itu berlebihan" kata kapten Tim Honduras pada pertandingan itu, Marco Antonio Mendoza, kepada surat kabar Argentina, Pagina pada tanggal 12 Agustus 2017.
"Sepak bola tidak menyebabkan perang. Penyebabnya masalah kedua negara karena reformasi agraria," katanya.
Bentrokan di perbatasan
"Kami diundang makan malam di kediaman presiden. Ia berkata kami harus menang demi 'seluruh orang El Salvador yang menderita di Honduras," kenang Mariona.
Beberapa hari kemudian sudah ada laporan bentrokan di perbatasan.
Pada tanggal 14 Juli, Angkatan Udara El Salvador menyerang Honduras, yang diikuti dengan serbuan angkatan darat.
Sumber gambar, Getty Images
Dalam 24 jam, pasukan El Salvador maju terus hingga mengancam ibu kota Tegucigalpa.
Honduras meminta organisasi kerjasama Amerika, OAS, untuk campur tangan.
Sebuah pertemuan mendadak diselenggarakan guna gencatan senjata dan penarikan pasukan. Sekalipun dijadwalkan pada tanggal 18 Juli, baru dua minggu kemudian El Salvador melakukannya.
Perang ini berlangsung hanya empat hari, tapi butuh 11 tahun bagi kedua negara untuk menandatangani perjanjian damai.
Sengketa wilayah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional tahun 1992, tapi hingga 2014 masih ada provokasi antara dua negara.
Bagi El Salvador, "Perang Sepak Bola" ini punya dampak buruk. Orang-orang yang dipaksa kembali ke El Salvador dari Honduras, turut memperburuk standar kehidupan negeri itu.
Hal ini menyebabkan ketidakpuasan berkepanjangan yang memicu perang saudara tahun 1979, dan berlangsung hingga 13 tahun yang memakan korban jiwa hingga 75.000 orang, menurut PBB.
Tim sepakbola El Salvador akhirnya berlaga di Piala Dunia Meksiko 1970, tapi gugur di babak grup dengan tiga kekalahan dan tak mencetak gol sama sekali.
MEXICO CITY, KOMPAS.com - Sentuhan Jose Antonio Quintanilla berhasil membelokkan bola sedikit saja, tapi itu cukup untuk mengecoh kiper.
El Salvador pun berhasil mengalahkan negara tetangganya Honduras dengan angka 3-2, tanggal 27 Juni 1969.
Pertandingan itu bagian saja dari kualifikasi Piala Dunia tahun 1970. Tapi orang mengingatnya karena dianggap memicu perang antara kedua negara.
Baca juga: Kisah Perang: Erwin Rommel Sang Rubah Gurun dan Plot Membunuh Hitler
Bulan Juli di tahun yang sama, selama sekitar 100 jam yang kacau, kedua negara di Amerika Tengah itu terlibat perang.
Diperkirakan 4.000 orang tewas dan 10.000 terluka, serta ratusan ribu mengungsi akibat perang tersebut.
Perang ini juga melibatkan pengeboman lewat udara.
Durasi perang yang singkat itu kalah penting dengan fakta bahwa pemicu perang adalah pertandingan sepak bola, sehingga perang ini dikenal dengan nama "
"Judul itu berlebihan" kata kapten Tim Honduras pada pertandingan itu, Marco Antonio Mendoza, kepada surat kabar Argentina, Pagina pada tanggal 12 Agustus 2017.
"Sepak bola tidak menyebabkan perang. Penyebabnya masalah kedua negara karena reformasi agraria," katanya.
Bentrokan di perbatasan
"Kami diundang makan malam di kediaman presiden. Ia berkata kami harus menang demi 'seluruh orang El Salvador yang menderita di Honduras," kenang Mariona.
Beberapa hari kemudian sudah ada laporan bentrokan di perbatasan.
Pada tanggal 14 Juli, Angkatan Udara El Salvador menyerang Honduras, yang diikuti dengan serbuan angkatan darat.
Perang Sepakbola ini punya akibat berantai di El Salvador yang kemudian memicu perang saudara yang berlangsung dari tahun 1979 hingga 1992.
Dalam 24 jam, pasukan El Salvador maju terus hingga mengancam ibu kota Tegucigalpa.
Honduras meminta organisasi kerjasama Amerika, OAS, untuk campur tangan.
Sebuah pertemuan mendadak diselenggarakan guna gencatan senjata dan penarikan pasukan. Sekalipun dijadwalkan pada tanggal 18 Juli, baru dua minggu kemudian El Salvador melakukannya.
Baca juga: Kisah Perang Dunia 1: Negara Mana Saja Blok Sekutu dan Blok Sentral?
Perang ini berlangsung hanya empat hari, tapi butuh 11 tahun bagi kedua negara untuk menandatangani perjanjian damai.
Sengketa wilayah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional tahun 1992, tapi hingga 2014 masih ada provokasi antara dua negara.
Bagi El Salvador, "Perang Sepak Bola" ini punya dampak buruk. Orang-orang yang dipaksa kembali ke El Salvador dari Honduras, turut memperburuk standar kehidupan negeri itu.
Hal ini menyebabkan ketidakpuasan berkepanjangan yang memicu perang saudara tahun 1979, dan berlangsung hingga 13 tahun yang memakan korban jiwa hingga 75.000 orang, menurut PBB.
Tim sepak bola El Salvador akhirnya berlaga di Piala Dunia Meksiko 1970, tapi gugur di babak grup dengan tiga kekalahan dan tak mencetak gol sama sekali.
Baca juga: Kisah Perang Dunia 1: Pembunuhan Franz Ferdinand dan Alasan Penembakannya
En la Residencia oficial del Embajador de Estados Unidos de América en Guatemala se realizó una ceremonia para celebrar a los equipos ganadores de subvenciones del concurso del Fondo de Innovación 100,000 fuerzas en Las Américas, patrocinado por Cementos Progreso y el Departamento de Estados Unidos de EE. UU, la Embajada de los Estados Unidos en Guatemala y Partners of the Americas.
El concurso consistió en presentar perfiles de proyectos para realizar alianzas entre instituciones de educación superior de Estados Unidos con instituciones de educación superior de Guatemala, El Salvador y Honduras para fortalecer la capacidad institucional y aumentar el número de programas de intercambio y la cooperación académica regional. Los programas de intercambio del concurso 2019 están centrados en el área temática de estudios ambientales y sostenibilidad, orientados a abordar soluciones a problemas y desafíos ambientales en los países participantes.
Mgtr. Vania Soto, directora de Proyectos de Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de URL; Lic. Mario Montano presidente de la Junta Directiva de Cementos Progreso, Señor Luis Arreaga, Excelentísimo Embajador de los Estados Unidos en Guatemala, Dr. Rolando Escobar Menaldo, decano de Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de URL; Dr. Luis Canales, director de la Oficina de Internacionalización de Illinois State University y Mgtr. Rossana Cáceres, coordinadora académica de la Facultad citada.
La Universidad Rafael Landívar, a través de la Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales, presentó un proyecto de movilidad de estudiantes con el tema «Justicia ambiental», en consorcio con la Universidad Estatal de Illinois.
El director de la oficina de Internacionalización de la Universidad Estatal de Illinois, Dr. Luis Canales, junto con el decano de la Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de la Universidad Rafael Landívar, Dr. Rolando Escobar Menaldo, representaron a sus respectivas universidades en el evento de celebración y anuncio oficial de los equipos ganadores. El Dr. Escobar Menaldo fue acompañado por la directora de proyectos y Servicios, Mgtr. Vania Soto, y la coordinadora académica, Mgtr. Rossana Caceres ambas de dicha Facultad y el coordinador de intercambios de Dirección de Cooperación Académica de URL, Lic. Héctor Ramírez.
Dr. Luis Canales, director de la Oficina de Internacionalización de Illinois State University, el Lic. Héctor Ramírez, coordinador de intercambios de la Dirección de Cooperación Académica de la Universidad Rafael Landívar, Mgtr. Vania Soto, directora de proyectos de Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de URL; Dr. Rolando Escobar Menaldo, decano de Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de URL; y Mgtr. Rossana Cáceres, coordinadora Académica de la Facultad de Ciencias Jurídicas y Sociales de URL.
El programa contempla actividades para conocer el sistema y las instituciones de defensa y protección del medio ambiente de cada país, compartir conocimientos, habilidades, metodologías de enseñanza y aprendizaje como los ejercicios de simulacros de juicios y debates inter aulas, para la resolución de conflictos legales ambientales.
Masa lalu yang bermasalah
Honduras dan El Salvador adalah negara-negara miskin yang punya hubungan sejarah yang rumit.
Keduanya bagian dari blok lima negara Amerika Tengah yang memproklamasikan kemerdekaan dari Spanyol pada tanggal 15 September 1821. Mereka membentuk federasi yang bertahan hingga 1838.
Orang-orang El Salvador yang tinggal di Honduras pada saat perang terjadi.
Orang-orang El Salvador yang tinggal di Honduras pada saat perang terjadi.
Sesudah federasi pecah, Honduras menjadi negara dengan wilayah lima kali lebih luas daripada El Salvador, dan ada masalah sengketa perbatasan antara keduanya.
Penduduk El Salvador lebih banyak dan pada tahun 1969, jumlahnya satu juta lebih banyak ketimbang Honduras.
Tekanan demografi ini membuat ribuan orang El Salvador migrasi ke Honduras sejak awal abad keduapuluh, terutama untuk bekerja di sektor pertanian.
Baca juga: Kisah Perang: Benarkah Rusia Menang Pertempuran Kursk, Adu Tank Terbesar di Dunia?
Namun sebuah undang-undang reformasi agraria disahkan di Honduras pada tahun 1962 dan dijalankan pada tahun 1967.
Hasilnya adalah pengambilalihan lahan milik migran dari El Salvador yang lantas didistribusikan ke penduduk Honduras.
Lahan ini diambil dari petani dan penghuni migran, tak peduli klaim ataupun status imigrasi mereka.
Ini menimbulkan masalah bagi orang El Salvador dan Honduras yang menikah.
Pengambilalihan lahan ini dipromosikan oleh pemilik lahan besar di Honduras, termasuk perusahaan internasional seperti United Fruit Company.
Ribuan pekerja El Salvador diusir dari Honduras, dan langkah ini diprotes oleh pemerintah El Salvador yang menuduh terjadi perlakuan kasar dan penyiksaan.
Lalu datanglah kualifikasi Piala Dunia 1970, kedua negara berhadapan di pertandingan semi final.
Perang berlangsung selama empat hari, tapi perjanjian perdamaian baru tercapai 11 tahun kemudian.
Honduras menang di pertandingan kandang 1-0 tanggal 8 Juni, tapi ini dilakukan dengan dukungan suporter yang membuat suara ribut luar biasa di depan kamar hotel para pemain El Salvador di ibu kota Honduras Tegucigalpa.
"Suporter mereka menutup jalan, dan semua mobil yang lewat membunyikan klakson dengan sangat keras. Kami tak bisa tidur sama sekali," kata bekas anggota kesebelasan El Salvador, Salvador Mariona kepada BBC tahun 2009.
Seminggu kemudian, El Salvador menang 3-0 dalam pertandingan kedua dan pendukung mereka juga membuat suara ribut yang sama tidak bersahabatnya.
Pertandingan tambahan di Mexico City terpaksa diadakan.
Baca juga: Kisah Perang Dunia II: Mengapa Terjadi dan Negara yang Terlibat
Sebelum pertandingan dimulai, ketegangan meningkat dengan sangat cepat.
Pers Honduras mengeksploitasi kabar bahwa dua orang pendukung Honduras terbunuh sebelum pertandingan, dan mobil dengan nomer Honduras dirusak.
Salvador Mariona dan rekan satu timnya dititipi pesan oleh presiden mereka untuk mengalahkan Honduras di lapangan hijau.
Tanggal 26 Juni, sehari sebelum pertandingan di Mexico City, pemerintahan militer El Salvador (Honduras juga dipimpin pemerintahan militer) mengumumkan memburuknya hubungan diplomasi kedua negara.
Pihak berwenang juga mengundang pemain dan memberi mereka pidato untuk menyemangati.
tirto.id - Sepakbola bukanlah permainan yang asing bagi Honduras dan El Salvador, dua negara bertetangga di kawasan Amerika tengah. Kursi stadion acap kali penuh sesak ketika pertandingan tim nasional mereka berlangsung. Meski belum pernah meraih trofi bergengsi, keduanya cukup bisa berbicara di panggung internasional.
Secara statistik keikutsertaan Piala Dunia, Honduras lebih di atas angin. Timnas mereka sudah mewarnai tiga edisi Piala Dunia: Spanyol 1982, Afrika Selatan 2010, dan Brazil 2014. Jika mundur ke belakang, akar permainan bola sudah dipraktikkan masyarakat Honduras kuno ketika masih menjadi wilayah imperium Maya. Permainan bola kuno bernama Pok-ta-Pok diketahui eksis sejak 1400 SM.
Sedangkan El Salvador tercatat dua kali masuk dalam turnamen Piala Dunia: Meksiko 1970 dan Spanyol 1982. Namun, perjuangan menembus ajang Piala Dunia 1970 barangkali menjadi ingatan abadi bagi El Salvador maupun Honduras.
Pada kualifikasi pra-Piala Dunia 1970, Honduras dan El Salvador bertemu. Pertandingan diselenggarkan di Tegucigalpa, Honduras. Tensi tinggi tersaji di luar lapangan. Malam sebelum pertandingan, Talksport menyebut para pendukung Honduras selaku tuan rumah memainkan perang psikologis dengan mengepung hotel para pemain El Salvador. Mereka mengklakson mobil, bernyanyi riuh, bersiul, menjerit sepanjang malam.
Usaha para penggemar Honduras tampaknya berhasil. Bermain di kandang dengan tekanan tinggi, Honduras menang tipis 1-0 berkat gol Roberto Cardona di menit akhir.
Kekalahan El Salvador ternyata tidak diterima dengan baik oleh banyak pendukung. Seorang gadis El Salvador berusia 18, Amelia Bolanos, bahkan nekat bunuh diri dengan menembak kepalanya. Oleh publik Salvador, Bolanos seketika menjadi ikon pembangkit semangat nasionalisme.
Pemakaman Bolanos disiarkan di televisi. Ia digembar-gemborkan sebagai martir hingga Presiden El Salvador, para menteri, dan pemain timnas ikut mengantarkan jenazahnya ke liang lahat.
Sebaliknya, Honduras mendapat tekanan berat. Ia harus menyambangi El Salvador untuk menjalani leg kedua yang diselenggarakan pada 15 Juni 1969. Sebelum pertandingan, giliran timnas Honduras yang harus menghabiskan malam tanpa tidur di hotel tempat mereka menginap.
Jurnalis asal Polandia, Ryszard Kapuscinski, dalam reportase panjangnya berjudul Soccer War, melaporkan dari lapangan bahwa para penggemar El Salvador menjerit-jerit, jendela banyak yang pecah, melempari telur busuk, bangkai tikus, dan lain sebagainya.
Timnas Honduras berangkat ke stadion dengan pengawalan ketat di mobil lapis baja, menerabas barikade pendukung Salvador yang berjejer di pinggir jalan dengan memegangi foto Bolanos. Belum dimulai pertandingan, tiga orang sudah tewas karena bentrokan. Tentara sudah mengepung stadion, beberapa regu bersenjata juga ada di dalam stadion.
Di tengah dukungan maha tinggi dan tensi panas yang tersaji, El Salvador akhirnya memang sukses menekuk Honduras dengan skor 3-0. Para penggemar merayakan kemenangan dengan membakar bendera Honduras, dan para pemain hingga staf segera berlari menyelamatkan diri.
Kekalahan ini tidak membuat Honduras kecewa, mereka malah bersyukur. "Kami sangat beruntung bahwa kami kalah. Jika tidak, kami tidak akan hidup hari ini," tutur Mario Griffin, pelatih Honduras.
Tapi beberapa penggemar Honduras memang benar-benar tidak beruntung. Dua orang Honduras tewas terbunuh di jalanan San Salvador, yang lain mendapat serangan fisik seperti ditendang dan dipukuli. Puluhan orang Honduras dilarikan ke rumah sakit. Ujungnya, perbatasan negara ditutup.
Kala itu, sistem agregat skor belum dipakai. Maka, kedua tim harus melakoni pertandingan pamungkas sekali lagi untuk menentukan siapa yang berhak lolos masuk ke Piala Dunia 1970 Meksiko. Menimbang tensi tinggi antar keduanya, dan menjunjung netralitas, maka pertandingan dihelat di Mexico City, Meksiko pada 26 Juni.
Sekitar 5.000 pendukung El Salvador terbang ke Mexico City sejauh 770 mil. Dilansir dari ESPN, seluruh timnas beserta jajaran dipanggil ke rumah Presiden untuk diberi motivasi kuat bahwa mereka sedang membela tanah air dan martabat bangsa.
Kepolisian Meksiko mengerahkan 5.000 personel polisi dengan senjata lengkap untuk mengamankan kedua pendukung di stadion. Pertandingan berjalan seru. El Salvador unggul dua gol lebih dahulu. Namun Honduras berhasil menyamakan kedudukan sampai menit akhir, memaksa pertandingan memasuki babak tambahan waktu.
El Salvador datang dengan semangat nasionalisme dan harga diri tinggi. Kemenangan menjadi harga mati. Pelatih El Salvador, Gregorio Bundio asal Argentina, memberikan bisikan maut dengan memerintahkan anak asuhnya menjegal para pemain Honduras dengan cara apapun selama dianggap pantas.
Penyerang andalan Honduras, Enrique Cardona, merasakan langsung kebrutalan para pemain Salvador. "Mereka menendang saya di lapangan!" ingat Cardona. "Aku mendapat sepatu lawan naik sampai ke dada. Aku pernah bermain di Spanyol, Inggris, Irlandia dan belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya."
Nyatanya, El Salvador berhasil melesakkan satu gol penentu lewat Mauricio Alonso Rodríguez. Skor akhir dalam pertandingan 120 menit itu 3-2 untuk kemenangan El Salvador. Surat kabar kedua negara saling melempar julukan negatif, mulai dari NAZI, kurcaci, pemabuk, sadis, agresor, hingga pencuri.
Dua minggu setelah pertandingan tersebut, sebuah perang dalam arti sesungguhnya benar-benar terjadi. Pada 14 Juli 1969, tepat hari ini 49 tahun lalu, di waktu senja sebuah pesawat terbang di atas Tegucigalpa dan menjatuhkan bom. Salvador resmi menginvasi Honduras.
ARMAPEDIA/El Comercio
Potret pertandingan antara Honduras dan El Salvador, yang kemudian memicu 'Perang Sepak Bola' antara kedua negara, yang dihelat pada tanggal 26 Juni 1969.
Nationalgeographic.co.id—Jika berkaca pada fanatisme sepak bola, kericahuan dari rivalitas selalu tercipta di atas lapangan hijau. Indonesia melawan Malaysia misalnya, suasana panas akan tersaji selama 90 menit.
Atau juga laga Real Madrid melawan Barcelona yang kerap kali dihias dengan kericuhan akibat rivalitas yang membuat tegang selama laga berlangsung. Namun, laga sepak bola hanyalah soal profesionalitas. Jabat tangan dan peluk menjadi ritus penutupnya.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan laga satu itu. Kala itu, tim sepak bola bertetangga, Honduras dan El Salvador bertemu dalam pertandingan kandang dan tandang pada bulan Juni 1969, untuk lolos ke Piala Dunia FIFA 1970.
Persaingan di lapangan menjadi representasi dari ketegangan di kehidupan nyata yang disebabkan oleh perlakuan buruk Honduras terhadap imigran yang melintasi perbatasan dari El Salvador yang lebih padat penduduknya.
Saat pertandingan tersebut berlangsung, suasananya hubungan bilateral antar keduanya memburuk dari ketegangan yang sudah ada sebelumnya.
"Alih-alih sepak bola bertindak sebagai proksi perang, perang sesungguhnya malah bertindak sebagai proksi untuk sepak bola," tulis Khalid Elhassan kepada History Collection dalam artikelnya Weirdest and Pettiest Causes of Wars and Diplomatic Disputes, terbitan 8 November 2023.
Pertandingan pertama, yang dimainkan di Honduras dimenangkan oleh tim tuan rumah 1-0, diwarnai oleh perkelahian antar suporter yang menyebabkan beberapa tewas. Hal itu berdampak pada seorang gadis El Salvador yang bunuh diri karena berduka atas kehilangannya.
Kematian gadis itu seolah menjadi pahlawan wanita yang populer, sehingga pemakamannya yang disiarkan di televisi meningkatkan emosi dan memperburuk perselisihan. El Salvador akan membalaskan dendamnya di leg kedua.
Pertandingan yang berlangsung pada 26 Juni 1969 antara El Salvador melawan Honduras memicu 'Perang Sepak Bola'.
Pada laga berikutnya, El Salvador memenangkan leg kedua. Dengan bermain di kandang sendiri, mereka memenangkan laga atas Honduras dengan skor 3-0. Fans bertengkar sekali lagi, dan beberapa warga Honduras terbunuh.
Sebagai pembalasan, penduduk lokal di Honduras melancarkan serangan terhadap imigran El Salvador. Honduras melakukannya lagi, ketika El Salvador memenangkan pertandingan tiebreak terakhir yang dimainkan di Meksiko pada 27 Juni 1969. El Salvador menang dengan skor 3-2.
Hal ini menambah perselisihan menjadi sebuah krisis yang semakin teruk, dan pemerintah El Salvador memutus hubungan diplomatik sebagai protes atas perlakuan buruk terhadap warga El Salvador di Honduras.
Dua minggu kemudian, pada tanggal 14 Juli 1969, militer El Salvador bergerak ke Honduras. Pada sore harinya, aksi militer terpadu dimulai. Angkatan Udara El Salvador menggunakan pesawat penumpang dengan bahan peledak diikatkan di sisinya sebagai pembom, menyerang sasaran di Honduras.
Tentara El Salvador yang lebih besar melancarkan serangan besar-besaran di sepanjang dua jalan utama yang menghubungkan kedua negara dan menyerbu Honduras. Namun momentum kemajuan tersebut tidak bertahan lama.
Angkatan Udara Honduras bereaksi. Mereka melakukan serangan balasan ke pangkalan udara El Salvador, Ilopango. Pembom Honduras menyerang untuk pertama kalinya pada pagi hari tanggal 16 Juli 1969.
Sasaran serangan udara Honduras mencakup fasilitas minyak seperti yang ada di Cutuco. Dan pada malam harinya, tiang asap besar muncul di garis pantai El Salvador dari depot minyak yang terbakar setelah dibom.
Pemerintah Honduras meminta Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) untuk campur tangan, karena khawatir Tentara El Salvador yang mendekat akan menyerbu ibu kota Tegucigalpa yang sangat vital.
Akhirnya, OAS bertemu dalam sesi mendesak pada tanggal 18 Juli dan menyerukan gencatan senjata. Pada saat gencatan senjata diumumkan pada tanggal 18 Juli 1969, sekitar 900 warga El Salvador, sebagian besar warga sipil, telah terbunuh.
Sementara di pihak Honduras, mereka kehilangan sekitar 250 tentara yang tewas, ditambah dengan 2000 warga sipil. Sekitar 300.000 warga El Salvador menjadi pengungsi, setelah mereka terpaksa meninggalkan Honduras.
El Salvador menarik pasukannya pada tanggal 2 Agustus 1969. Ada tekanan besar dari OAS, yang mengancam dampak yang melemahkan jika El Salvador terus menolak penarikan pasukan mereka dari Honduras.
Honduras menjamin Presiden El Salvador, Fidel Sánchez Hernández untuk mendorong pemerintah Honduras memberikan keamanan yang memadai bagi warga El Salvador yang masih tinggal di Honduras.
Setelah memenangkan laga menentukan dengan Honduras dalam Kualifikasi Piala Dunia, El Salvador bermain di Piala Dunia 1970. Namun El Salvador tersingkir setelah kalah dalam tiga pertandingan pertamanya melawan Uni Soviet, Meksiko dan Belgia.
Krisis bilateral benar-benar diselesaikan. Sebelas tahun setelah konflik, kedua negara menandatangani perjanjian damai di Lima, Peru pada tanggal 30 Oktober 1980. Mereka setuju untuk menyelesaikan sengketa perbatasan Teluk Fonseca melalui Mahkamah Internasional (ICJ).
Pada tahun 1992, Pengadilan menyerahkan sebagian besar wilayah yang disengketakan kepada Honduras, dan pada tahun 1998, Honduras dan El Salvador menandatangani perjanjian demarkasi perbatasan untuk melaksanakan ketentuan keputusan ICJ.
Meski telah melalui upaya perdamaian, hingga hari ini keduanya masih bersitegang. Sepak bola masih menjadi hal yang sentimental di antara kedua negara dan karenanya, krisis itu mewarnai sampai hari ini.
Gel Duri Landak Berpotensi Sembuhkan Luka: Termasuk Luka akibat Tertusuk Duri?
Every four years, the world’s attention turns to the spectacle that is the World Cup. Rivalries can be fierce as countries vie for the most coveted prize in international sports. For the most part, the action stays on the pitch. But not always. In 1969, long-simmering tensions between Honduras and El Salvador, which were competing for a slot in the 1970 World Cup to be held in Mexico, erupted in open hostilities called the “La Guerra del Futbol.”
There was fighting between fans at the first game in the Honduran capital of Tegucigalpa on June 8, which Honduras won 1–0. The second game, on June 15 in the Salvadoran capital of San Salvador, was won 3–0 by El Salvador; even more violence followed. A play-off match took place in Mexico City on June 26, which El Salvador won 3–2 after extra time.
That same day, El Salvador dissolved all diplomatic ties with Honduras, stating that “the government of Honduras has not taken any effective measures to punish these crimes which constitute genocide, nor has it given assurances of indemnification or reparations for the damages caused to Salvadorans.” The Salvadoran Air Force then attacked targets inside Honduras on July 14, which caught the better equipped Honduran air force off guard. The larger Salvadoran army then invaded Honduras.
The Organization of American States (OAS) called for a ceasefire; on July 18, after four days of fighting, the “100 hours war” had ended. El Salvador withdrew its troops August 2; however, the brief hostilities resulted in over 2,000 casualties on each side, with some 300,000 Salvadorans displaced, many returning to their home country beaten and brutalized.
Jack R. Binns worked at the U.S. Embassy in Honduras at the time. Edward M. Rowell, a political advisor in Honduras at the time, explains the reality of the mob effect on the two nations and their soccer fans. Robert S. Steven, who worked for the Third Party Nationals program, discusses the lack of importance that the U.S. placed on the “Soccer Wars.” They were all interviewed by Charles Stuart Kennedy beginning in July 1990, September 1995, and August 2001 respectively. You can also see this brief footage on the war on YouTube: El Salvador – Honduras 1969 Football War.
BINNS: Over a period of approximately twenty years, large numbers of Salvadoran had migrated illegally to Honduras, which had a lot of land, almost free for the taking. It had employment opportunities; it had banana plantations which paid much better than any employment in El Salvador.
There were probably between 100,000-200,000 illegal Salvadoran in Honduras. The Hondurans viewed the Salvadoran as taking the best jobs because the Salvadoran have a deserved reputation as being extremely hard workers.
ROWELL: There had always been frictions between El Salvador and Honduras… El Salvador was over-populated, and its lands were controlled by an oligarchy that dedicated them to the coffee industry. But there were other jealousies and frictions.
Forty-eight hours before the war started I sensed that if it was going to happen, it would come that weekend. Don’t ask me how I knew it. It was just something in my bones. I could see the arguments going back and forth in the traffic between our Embassy and the Embassy in San Salvador.
The OAS was already trying to mediate, but I could see that that wasn’t working fast enough. Our military attachés on both sides of the frontier did outstanding work. By the time Friday of that week came, I said to myself, “There’s going to be a war.”
BINNS: Tension between Honduras and El Salvador rose after a game in El Salvador which hosted the Hondurans. The Salvadorans stayed up all night screaming in front of the hotel where the Honduras team was staying so that no one could sleep. It was trivial, but shortly after that, riots broke out in Honduras where Salvadoran were dragged out of their homes, beaten, driven off jobs, brutalized. Obviously, the Honduran government sanctioned those mob actions.
ROWELL: Rumors had circulated that somehow the Salvadoran team had been harassed when they visited Honduras. When the Honduran soccer fans went to El Salvador, people along the side of the highway in El Salvador fired shotguns and rifles through the busses carrying the soccer visitors. Then there was a big riot at the stadium in El Salvador. Somehow, the Hondurans got back home.
When word of the violence in El Salvador spread, there was a riot in Honduras. A lot of Salvadorans lived in Honduras, many of them shop owners. Their shops were ransacked, and they were frightened and scared. The next thing we knew, the Salvadoran government had launched a war against Honduras “to protect its citizens in Honduras.” To this day I don’t know what or who really triggered all of that violence.
BINNS: Literally thousands of Salvadoran immigrated back to El Salvador, including some who had lived in Honduras for as long as twenty years. Many were in bad physical condition because they had been beaten or because they had to walk fifty or hundred miles to the border.
It was a very, very bad situation. Tensions were rising dramatically. Both military groups were making noises about the each other’s barbarity. Finally, in July 1969, the Salvadoran armed forces launched a military attack on Honduras, driving twenty to thirty kilometers into the country. Then they literally ran out of gas and couldn’t move forward.
ROWELL: So the Honduran Army was sitting there with machetes and old rifles, facing the Salvadorans, who were coming in with Belgian made automatic weapons. The Salvadorans also had armored vehicles in the form of jeeps with one-quarter inch steel plates welded onto them. So there was an armored assault across the Honduran frontier which was “defended” by troops with machetes and hunting rifles.
The Salvadoran Army at the time was not terribly well disciplined. The automatic weapons were a disaster in the hands of undisciplined or untrained soldiers. They exhausted their ammunition in the first 15 minutes of the war. They simply put their weapons on full automatic when they crossed the Honduran border and fired at anything they saw, and there wasn’t much there. The invasion slowed immediately because the Salvadoran soldiers were on their own — with machete against machete. That’s a different sort of conflict.
The safety of Americans became a big problem. The Hondurans insisted that the US send in reinforcements to protect them. We refused. We refused to give them ammunition or military supplies to help their side. They were furious at us.
We helped to protect some innocent Salvadoran civilians who risked death at the hands of vigilantes. There was a curfew and a blackout. It was a very effective blackout, because they simply turned off the electricity supply to the city. All lights went out. Vigilante groups roamed the streets of Tegucigalpa. If they spotted a candle through a window, they would threaten to chop down the door to put out the candle. They were afraid of more air raids, and said that no light must show.
Every night we would have some Americans calling, saying that the vigilantes were threatening to chop down the doors.
You have to understand that we had become horribly unpopular. I remember one night when an American woman out at the edge of Tegucigalpa called. She was alone with her children. The vigilantes were literally chopping at the door.
I went out to her house. You couldn’t show a light on a vehicle. It was the new moon, and there was no moonlight. Tegucigalpa is a mountainous city. We were driving on mountainous roads in starlight. So what should have been a 10-minute ride took 40 minutes, and I had to pass through four vigilante checkpoints on the way. I reached this woman’s house.
The vigilantes were sitting outside the house. I don’t remember what I told them, but they stopped threatening her. We had two or three calls like that every single night.
BINNS: Within 100 hours, the OAS had intervened and a truce was established. Ultimately, the Salvadoran withdrew. Interestingly enough, in the days preceding the outbreak of the war, we were extremely concerned about the possibility of a Salvadoran incursion into Honduras. There were a lot of reasons why we didn’t want that to happen, but suffice it to say, our efforts to avoid the war were unsuccessful.
ROWELL: I had lived in Argentina and understood that simmering border issues can produce war, so I wasn’t completely surprised by the violence. However, it was the kind of thing that I would not have predicted. You can never predict when a mob is going to form and get out of control. You really can’t.
Since we have so many events like soccer matches, where people collect in numbers large enough to create a critical mass, you can be caught by surprise. That happened.
STEVEN: It was a difficult job trying to get anybody in Washington in the Department to take it at all seriously. Everyone had the same reaction: oh, it’s crazy in Central America, banana republics having a war over a soccer game or something. It was like saying as soon as they assassinated the Archduke in Sarajevo in 1914 that that was just a minor thing. It set it off and was a catalyst for a lot of trouble.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Pertarungan terakhir antara pesawat pesawat bermesin piston dan berbaling-baling tidak terjadi di langit Jerman pada tahun 1940-an atau bahkan di Korea pada tahun 1950-an. Tapi itu terjadi di Amerika Tengah pada tahun 1969, dan semua yang bertempur menerbangkan pesawat Corsair dan Mustang buatan AS. Pertempuran udara yang terjadi adalah salah satu tindakan terakhir dalam konflik empat hari yang singkat namun berdarah antara Honduras dan El Salvador, yang umumnya kerap disalah-artikan dikenal sebagai Perang Sepak Bola.
LATAR BELAKANG EL SALVADOR VS HONDURAS
El Salvador – kira-kira seukuran Wales – memiliki populasi sekitar 3 juta orang pada tahun 1969. Sebagian besar negara itu dikendalikan oleh para elit tuan tanah, yang hanya menyisakan sedikit ruang bagi petani El Salvador yang lebih miskin. Sementara itu tetangganya, Honduras – juga didominasi oleh sejumlah kecil tuan tanah – lima kali lebih besar, dan pada tahun yang sama memiliki populasi sekitar 2,3 juta. Akibatnya, sepanjang abad ke-20, orang-orang El Salvador pindah ke Honduras untuk memanfaatkan lebih banyak lahan pertanian yang tersedia, dan bekerja untuk perusahaan buah AS yang beroperasi di negara tersebut. Sekitar 300.000 orang El Salvador tinggal di bagian negara tetangganya pada tahun itu. United Fruit Company (sekarang Chiquita Foods International) saja memiliki lebih dari 10% wilayah Honduras! Dan meskipun mereka senang mempekerjakan orang-orang El Salvador, mereka tidak senang melihat begitu banyak dari mereka tinggal di wilayah pertanian utama. El Salvador muncul sebagai koloni Spanyol, pada abad ke-16, ketika orang Spanyol menaklukkan daerah itu, memperbudak penduduk Indian setempat dan mengembangkan perkebunan kapas, balsam dan nila. Kaum elit Eropa, yang terdiri dari 14 keluarga, menguasai hampir semua tanah, dan hal ini tetap terjadi setelah negara ini merdeka pada tahun 1821, bersama dengan banyak negara Amerika Latin lainnya. El Salvador adalah negara kecil dengan populasi yang besar dan berkembang pesat serta lahan yang tersedia sangat terbatas. Tekanan penduduk yang berat, yang semakin meningkat setiap tahunnya, ekonomi yang mengandalkan komoditas satu tanaman (berdasarkan kopi, yang menderita – dan masih menderita – akibat rendahnya harga kopi di pasar dunia), sedikitnya lahan yang dapat ditanami, dan distribusi pendapatan yang tidak merata, menjadi pemicu ketidakpuasan dan keresahan yang berhasil dieksploitasi oleh berbagai pihak. Sejalan dengan itu, sejarah El Salvador pada abad ke-19 dan ke-20 ditandai dengan kekerasan, kekacauan, dan intervensi militer. Pada tahun 1932, terjadi pemberontakan besar para petani dan suku Indian, yang ditumpas dengan darah dingin oleh Angkatan Darat El Salvador. Situasi tidak juga membaik setelah Perang Dunia II. Delapan dari sepuluh pemerintahan yang memerintah El Salvador antara tahun 1945 dan 1970, dipimpin oleh personel militer. Meskipun ada peningkatan ekonomi yang cukup besar pada tahun 1960-an, lebih dari 85% orang El Salvador menderita kemiskinan, pengangguran, kelebihan jumlah penduduk dan kekurangan lahan. Tidak mengherankan jika ribuan orang El Salvador beremigrasi ke negara tetangganya, Honduras.
Honduras di sisi lain memperoleh kemerdekaan dari Spanyol bersamaan dengan El Salvador, tetapi kemudian berkembang secara mandiri. Setelah sempat dianeksasi oleh Kekaisaran Meksiko, pada tahun 1823, Honduras bergabung dengan United Provinces of Central America yang baru dibentuk. Sejak saat itu, negara pegunungan ini berkembang sangat lambat. Dengan 50% wilayah Honduras yang belum terjamah, Honduras merupakan salah satu negara termiskin dan paling tidak berkembang di Amerika Latin. Perkembangan industrinya sangat terbatas, dan ekonominya selalu bergantung pada ekspor kopi dan pisang. Lebih dari 80% penduduknya (sekitar 4 juta jiwa pada akhir tahun 1960-an), hidup dalam kondisi yang sangat miskin. Pemogokan umum para pekerja perkebunan pisang pada bulan Oktober 1955, mengakibatkan kudeta oleh para perwira muda dan pembentukan junta sementara yang membuka jalan bagi pemilihan umum pada tahun 1957. Ramon Villeda Morales terpilih sebagai Presiden dan mengubah dirinya menjadi badan legislatif nasional dengan masa jabatan enam tahun. Bersamaan dengan itu, militer menjadi lembaga profesional, terlepas dari kepemimpinan partai politik tertentu. Akademi militer yang baru didirikan meluluskan angkatan pertamanya pada tahun 1960. Menurut konstitusi kontemporer, Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, yang dikelola oleh Departemen Angkatan Bersenjata. Setiap warga negara diwajibkan mengikuti wajib militer selama 18 bulan antara usia 18 hingga 55 tahun, tetapi Angkatan Darat – yang berjumlah sekitar 3.500 orang yang diorganisir dalam dua batalyon infanteri dan sekitar 20 kompi infanteri di akhir tahun 1960-an – selalu diisi oleh para sukarelawan. Setelah beberapa tahun yang damai, pada bulan Oktober 1963, para perwira militer konservatif mendahului pemilihan umum konstitusional dan menggulingkan Villeda dalam sebuah kudeta berdarah. Jenderal Lopez Arellano kemudian menjadi pemimpin junta yang baru, dan segera menghadapi ketidakpuasan rakyat yang besar.
Memang, pada tahun 1969, Arellano berada dalam masalah besar. Situasi ekonomi yang buruk mengakibatkan kerusuhan politik dan konflik buruh. Pemilihan umum yang diadakan pada bulan Maret 1968, disertai dengan kekerasan dan tuduhan kecurangan terbuka, memicu ketidakpuasan publik dan menimbulkan kekhawatiran di dalam dan di luar negeri. Pemogokan umum yang diadakan pada akhir tahun itu berhasil dipadamkan oleh tindakan pemerintah, tetapi kerusuhan terus berlanjut dan pada musim semi 1969, dimana para guru dan kelompok-kelompok lain juga melakukan protes. Rezim Honduras – dan juga beberapa kelompok swasta – akhirnya menemukan solusi untuk situasi ini dengan menyalahkan sekitar 300.000 imigran ilegal asal El Salvador. Orang-orang Salvador ini kini merupakan 20 persen dari populasi Honduras. Tuduhan mulai dilontarkan, bahwa kehadiran imigran Salvador sama saja dengan invasi. Memang benar, mayoritas penduduk El Salvador di Honduras adalah petani miskin, yang satu-satunya klaim atas tanah yang mereka garap adalah kehadiran mereka secara fisik. Sebenarnya ini bukan masalah bagi – banyak – orang Honduras, tetapi mereka merasa terdesak dan dikelilingi oleh orang-orang El Salvador. Pertumbuhan toko-toko sepatu orang El Salvador di jalan-jalan di kota-kota besar dan kecil di Honduras, misalnya, menggarisbawahi kesenjangan ekonomi antara kedua negara. Sejalan dengan itu, masalah penghuni liar El Salvador menjadi titik kritis nasionalisme bagi Honduras. Pada bulan Januari 1969, pemerintah Honduras menolak untuk memperbarui perjanjian bilateral tentang imigrasi dari tahun 1967, yang dirancang untuk mengatur arus individu yang melintasi perbatasan bersama. Pada bulan April 1969, Tegucigalpa mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengusir semua orang yang memperoleh properti tanpa memenuhi persyaratan hukum. Media juga berkontribusi secara besar-besaran terhadap situasi tersebut, dengan mengembangkan iklim yang nyaris histeris, menyalahkan dampak dari tenaga kerja imigran El Salvador terhadap upah dan tingkat pengangguran di Honduras. Pada akhir Mei 1969, puluhan orang El Salvador dibunuh atau disiksa secara brutal, dan akibatnya puluhan ribu orang mulai mengalir kembali ke perbatasan – ke El Salvador yang sudah terlalu padat penduduknya. Reaksi El Salvador pun tidak kalah sengit, dengan mengklaim bahwa El Salvador memiliki semua tanah yang diduduki oleh para petani imigran di Honduras. Tidak butuh waktu lama hingga peta yang menunjukkan negara ini hampir satu setengah kali lebih besar dari kenyataannya mulai beredar.
Organisasi militer El Salvador relatif sederhana. Presiden adalah Panglima Tertinggi angkatan bersenjata, tetapi dengan kontrol yang dilakukan melalui Menteri Pertahanan, yang merupakan seorang tentara. Pria berusia antara 18 dan 30 tahun memenuhi syarat untuk masuk militer, tetapi sebenarnya dipanggil untuk dinas selama 12 bulan secara selektif. Majelis Nasional setiap tahun menetapkan kekuatan Angkatan Darat, yang dulunya memiliki personel sekitar 4.500 orang, pada tahun 1969, dan diorganisir dalam tiga batalion infanteri, satu skuadron kavaleri, dan satu batalion artileri. Semua unit ini dapat dikembangkan menjadi unit setara resimen dalam keadaan darurat, dan juga dapat mengambil bagian dalam Dinas Teritorial – dengan jumlah sekitar 30.000 orang dalam 12 unit infanteri – pada saat mobilisasi. Fuerza Aérea Salvadoreña berasal dari Dinas Penerbangan Militer, yang dibentuk pada tahun 1922. Setelah penandatanganan Perjanjian Rio pada tahun 1947, yang mengatur pertahanan timbal balik di antara negara-negara Amerika (termasuk Amerika Serikat), El Salvador mulai mendapat manfaat dari kehadiran Misi Udara AS dan peningkatan transfer pesawat terbang di bawah Program Bantuan Pertahanan Timbal Balik. Pada tahun 1954, Dinas Penerbangan Militer direorganisasi menjadi Fuerza Aérea de El Salvador (Angkatan Udara El Salvador, FAS) dengan bantuan AS. Setelah mengetahui tentang persiapan perang melawan Honduras, pada akhir musim semi 1969, Panglima Tertinggi FAS, Mayor Henriquez, mengirim sejumlah agen ke AS untuk mencari pesawat tempur tambahan, berapa pun biayanya: ini terutama untuk mencari F-51 Mustang milik pribadi, untuk menghindari embargo AS atas ekspor senjata yang diberlakukan terhadap El Salvador dan Honduras menyusul ketegangan yang berkepanjangan. Akhirnya, mereka berhasil mendapatkan sejumlah Mustang, seringkali dengan cara yang sangat rumit, biasanya dengan menerbangkannya melalui Haiti, Republik Dominika, dan beberapa Kepulauan Karibia lainnya. Pada saat yang sama, P-51D-25-NA yang dimiliki secara pribadi oleh warga negara El Salvador, Archie Baldocchi, juga diambil alih oleh FAS dan dipersenjatai, menjadi “FAS402” yang baru. Pemiliknya lalu dijadikan “asisten luar biasa” bagi Komandan FAS.
Melalui cara-cara seperti itu, FAS – yang saat itu berada di bawah komando Mayor Salvador Adalberto Henriquez – mampu mengumpulkan armada pesawat tempur berikut ini pada akhir bulan Juni 1969:
Catatan tentang kamuflase dan penandaan pesawat FAS:
Selain Mustang dan Corsair, FAS juga mengoperasikan empat Douglas C-47 Dakota dan satu pesawat transport Douglas C-54, lima Cessna U-17A dan dua 180, dua North American SNJ (versi Angkatan Laut AS T-6G Texan). Berlawanan dengan Angkatan Darat El Salvador, yang menikmati tingkat supremasi regional yang relatif tinggi, FAS merupakan kekuatan kecil, tidak berkembang dengan baik. Pada tahun 1969, FAS hanya memiliki 1.000 personel, yang diorganisir sebagai berikut:
* Secara nominal, semua pesawat dibentuk ke dalam Grupo de Combate, yang terdiri dari tiga skuadron penerbangan dan beberapa kelompok pendukung:
Meskipun ada waktu yang cukup untuk persiapan, bagian lebih baik dari FAS tidak dimobilisasi sepenuhnya. Dari hanya 34 pilot yang memenuhi syarat yang ada, tujuh orang ditugaskan ke maskapai penerbangan nasional, dua orang untuk tugas penyemprotan lahan pertanian (yang dipanen oleh FAS), dan dua orang lainnya menerbangkan satu-satunya pesawat Douglas DC-4M-1 FAS dalam misi penerbangan pengangkutan lobster reguler ke Miami, AS. Teknisi El Salvador yang terlatih dengan baik, terutama ada di Guatemala, tetapi jumlahnya tidak cukup dan mereka kekurangan suku cadang serta peralatan pendukung untuk pesawat-pesawat mereka. Oleh karena itu, kondisi sebagian besar pesawat sangat buruk – meskipun tingkat kemampuan menjalankan misi pada masa awal perang mendekati 100%. Armada Goodyear FG-1D Corsair secara teoritis cukup besar, tetapi pada kenyataannya sebagian besar pesawat telah dikanibal untuk suku cadang untuk menjaga sekitar enam pesawat dalam kondisi operasional. Kondisi dari pesawat-pesawat Corsair ini menghasilkan keputusan untuk mengakuisisi Cavalier TF-51D Mustang dan Cavalier Mustang 750, serta lima North American F-51D Mustang, yang diproduksi ulang oleh Trans Florida Aircraft. Namun, salah satu F-51D hilang dalam kecelakaan lepas landas di Ilopango, pada tanggal 8 Oktober 1968. Selain itu, pada tahun 1969, FAS hanya memiliki satu pangkalan udara, di Ilopango, meskipun terdapat beberapa landasan udara di seluruh negeri, termasuk di Pulau Madresal, San Miguel, Santa Ana, San Andres, dan Usultan.
Honduras telah terlibat dalam sejumlah perselisihan perbatasan dengan negara-negara tetangganya, terutama Guatemala, Nikaragua, dan El Salvador. Meskipun angkatan daratnya kecil, dan kurang diperlengkapi dengan baik dibandingkan El Salvador, angkatan udaranya berada dalam kondisi yang lebih baik, karena strategi pertahanan nasional didasarkan pada kekuatan udara, dengan Angkatan Darat dijaga pada level minimal selama masa damai. Oleh karena itu, Fuerza Aérea Hondureña(Angkatan Udara Honduras – FAH) mengoperasikan lebih banyak pesawat pengebom tempur (dan memiliki jumlah pilot yang cukup untuk pesawat-pesawat tersebut) daripada FAS. Mungkin yang sama pentingnya adalah fakta bahwa FAH akan bertempur dalam perang berikutnya di atas wilayah mereka sendiri – yang merupakan tujuan keberadaannya. Pada tahun 1969, FAH memiliki kekuatan sekitar 1.200 orang yang diorganisir dalam dua skuadron pesawat pembom tempur, yang dilengkapi dengan 12 hingga 14 Vought F4U Corsair (setidaknya sepuluh di antaranya masih utuh), serta satu pesawat angkut dan satu unit latihan, yang dilengkapi dengan enam pesawat angkut Douglas C-47, tiga helikopter, dan 27 pesawat lainnya. Rincian yang diketahui tentang pesawat-pesawat ini adalah sebagai berikut:
Pangkalan utama FAH pada saat itu adalah Toncontin, dekat Tegucigalpa, dan La Mesa, dekat San Pedro Sula.
Perkembangan yang secara langsung mengarah pada permusuhan antara El Salvador dan Honduras terletak pada aktivitas kelompok-kelompok bersenjata Honduras – yang secara diam-diam didukung oleh pemerintah – melawan para petani El Salvador, yang terjadi pada saat pengusiran besar-besaran yang pertama kali terjadi di kemudian hari. Karena kedua pasukan kini berkumpul di sepanjang perbatasan bersama, tidak butuh waktu lama sampai beberapa insiden terjadi. Pasukan El Salvador berbaris ke Honduras dan ditangkap. Sebagai pembalasan, pihak berwenang El Salvador memenjarakan seorang kerabat presiden Honduras. Di tengah meningkatnya ketegangan, pada bulan Juni 1969, tim sepak bola kedua negara terlibat dalam pertandingan penyisihan tiga pertandingan sebagai penyisihan menuju Piala Dunia. Pertandingan ketiga di tanggal 27 Juni dalam posisi 2-2 setelah 90 menit di Stadion Azteca di Mexico City. Kualifikasi untuk Piala Dunia 1970 di Meksiko dipertaruhkan, sebuah kompetisi yang belum pernah diikuti oleh keduanya sebelumnya. Honduras memenangkan leg pertama 1-0 pada tanggal 6 Juni di ibu kota mereka Tegucigalpa, hanya untuk El Salvador yang menang 3-0 pada tanggal 15 Juni di kandang sendiri di San Salvador. Laporan kekerasan yang terjadi merusak suasana kedua game tersebut. Setelah menonton pertandingan pertama di di TV-nya, Amelia Bolaños yang berusia 18 tahun berlari ke laci ayahnya untuk mengambil pistolnya, dan menembak jantungnya sendiri. Dia segera dicap sebagai martir oleh pemerintah El Salvador, dan pemakamannya ditayangkan di TV negara El Salvador, di mana presiden El Salvador, menteri kabinet dan tim sepak bola nasional berjalan di belakang peti mati yang terbungkus bendera. Surat kabar El Nacional menulis: “Gadis muda itu tidak tahan melihat tanah airnya bertekuk lutut.” Beberapa berpendapat bahwa kesyahidannya, didorong secara signifikan oleh tindakan pemerintah El Salvador, yang mengakibatkan meningkatnya kerusuhan dan kekerasan penggemar pada pertandingan kualifikasi kedua. Meski menang orang-orang El Salvador masih marah dengan pertandingan pertama, sehingga beberapa penduduk setempat menyerang penonton Honduras. Dua orang Honduras tewas dalam kerusuhan di kota itu, sementara bus dan mobil yang menuju ke Honduras menjadi sasaran karena diyakini penumpangnya adalah orang Honduras. Cerita yang dibesar-besarkan mengungkapkan tentang pertumpahan darah dan orang Honduras yang disandera. Di Honduras meledak huru-hara. Toko-toko milik orang-orang El Salvador dirusak dan dijarah sementara pemiliknya dipukuli. Warga El Salvador menjadi sasaran massa, dan banyak yang diseret keluar dari rumah dan tempat kerja mereka. Toko-toko yang menjual barang-barang El Salvador di Tegucigalpa dan San Pedro Sula diserang, terlepas dari siapa pemiliknya. Orang-orang El Salvador kemudian mulai melarikan diri kembali melintasi perbatasan, diserang oleh massa yang marah dan oleh penjahat yang ingin menghasilkan uang dengan cepat. Rumah-rumah milik orang El Salvador dijarah dan dibakar, sementara sejumlah wanita diperkosa.
Diyakini bahwa sebanyak 1.400 orang mengalir kembali ke El Salvador setiap harinya, sebagian besar dengan berjalan kaki. El Salvador lalu menuduh Honduras melakukan genosida dan meminta Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) untuk campur tangan, tetapi tidak berhasil. Kemudian saat pertandingan penentuan memasuki menit ke-11 perpanjangan waktu, pemain El Salvador Mauricio “Pipo” Rodríguez berlari ke area penalti untuk menyambut umpan silang dan memasukkan bola melewati kiper Honduras Jaime Varela. El Salvador bertahan untuk menang 3-2. Para pemain berpelukan, berjabat tangan, dan meninggalkan lapangan. Kerusuhan sebenarnya sudah terjadi pada pertandingan pertama, di Tegucigalpa, namun situasi hampir tidak terkendali pada pertandingan kedua di San Salvador – yang pada akhirnya membuat para pengamat yang kurang informasi menyimpulkan bahwa yang terjadi perang berikutnya disebabkan oleh kebencian akibat sepak bola, dan menyebutnya sebagai “Perang Sepak Bola”. “Sebagian besar perang ini adalah tentang tanah yang tersedia, terlalu banyak orang di tempat yang terlalu kecil, dan oligarki yang berkuasa hanya mengobarkan konflik ini lewat pers,” kata Dan Hagedorn, penulis The 100 Hour War, yang merinci konflik tersebut. Sementara itu, upaya pemerintah Honduras untuk melucuti senjata penduduknya sendiri dengan cepat berubah menjadi perburuan terhadap orang-orang El Salvador di daerah perbatasan. Pada tanggal 24 Juni, pemerintah El Salvador mengerahkan militernya, dan dua hari kemudian mengumumkan keadaan darurat. Sebagai reaksinya, pada tanggal 27 Juni 1969, Honduras memutuskan hubungan diplomatik dengan El Salvador.
Kedua angkatan udara juga aktif – dan menjadi terlibat pertempuran – juga. Pada tanggal 3 Juli, sebuah pesawat DC-3 milik Servicio Aéreo de Honduras diserang oleh tembakan senjata anti pesawat AAA setelah lepas landas dari Nueva Ocotepeque. Awak pesawat melaporkan kejadian tersebut dan dua T-28 FAH dikerahkan untuk melakukan pemeriksaan. Beberapa jam kemudian, sebuah Piper PA-28 Cherokee (dengan nomor registrasi YS-234P), terdeteksi ketika sedang terbang di atas Gualcince dan Candelaria, dekat perbatasan El Salvador dan dicegat oleh dua T-28 FAH. Meskipun ada perintah untuk mendarat, pilot El Salvador berhasil melintasi perbatasan dengan selamat. Pesawat Cherokee tersebut sebenarnya merupakan bagian dari upaya FAS untuk mengintai jalur yang memungkinkan untuk masuk ke wilayah Honduras, yang juga melibatkan sebuah pesawat Cessna 310 dari Instituto de Cartografia Nacional (Lembaga Pemetaan Nasional), dan telah berlangsung sejak akhir bulan Juni. Memahami pentingnya operasi ini dan pelanggaran wilayah udaranya, Honduras mengulangi tuduhan atas pelanggaran wilayah udaranya oleh pesawat-pesawat FAS pada hari-hari berikutnya. Selama beberapa hari berikutnya, Honduras berulang kali menuduh El Salvador melanggar wilayah udaranya; sementara itu FAH dimobilisasi dan, pada tanggal 12 Juli, memulai Operasi “Base Nueva“, dengan mengerahkan semua pesawatnya ke La Mesa AB, di San Pedro Sula, tempat Komando Utara dibentuk yang bertanggung jawab atas semua operasi selama konflik berikutnya. FAS juga dimobilisasi, dan mengerahkan aset-asetnya di berbagai lapangan terbang, termasuk Pulau Madresal, San Miguel, Santa Ana, San Andres, dan Usultan, sembari meminta sejumlah pilot sipil untuk menjadi sukarelawan. Sebagai contoh, semua pesawat Mustang terkonsentrasi di Pulau Madre Sal, sebuah pangkalan rahasia yang didirikan tak lama sebelum permusuhan. Pangkalan ini tersembunyi dengan baik, tetapi juga sangat sulit dijangkau oleh apa pun kecuali menggunakan pesawat.
Pada awal perang, pesawat Mustang dan Corsair FAS 100% siap beroperasi dan beraksi, mendukung pasukan darat. Namun, pilot-pilot mereka mengalami beberapa masalah. Tangki bahan bakar yang dipasang di ujung sayap pada Cavalier Mustang ternyata memiliki efek negatif pada kemampuan manuver pesawat, dan harus dilepas. Baldocchi kemudian merancang fillet untuk dipasang di tempatnya, sekaligus memberikan kontrol dan stabilitas yang lebih baik. Radio yang terpasang juga tidak memuaskan dan oleh karena itu Baldocchi memasang radio Angkatan Darat, yang diambil dari beberapa jip komando. Yang terakhir, pesawat ini tidak memiliki reflektor senjata yang reflektif dan ini harus diganti, dan pemilik Mustang El Salvador yang giat akhirnya merancang juga tangki cadangan yang terbuat dari serat kaca untuk meningkatkan jangkauan tanpa menambah berat pesawat secara serius. Sementara itu, sebagian besar Angkatan Darat El Salvador dikerahkan di sepanjang perbatasan dekat Teluk Fonseca dan El Salvador utara, untuk mempersiapkan serangan ke Honduras. Jenderal Gerardo Barrios dari El Salvador mengembangkan sebuah rencana yang menyatakan bahwa FAS akan mengebom lapangan terbang Toncontin, dekat Tegucigalpa, untuk menghancurkan pesawat-pesawat FAH di darat. Serangan udara tambahan akan diterbangkan ke sejumlah kota lain di Honduras. Secara bersamaan, lima batalyon infanteri dan sembilan kompi Garda Nasional akan dikerahkan di empat wilayah operasi dan dengan cepat merebut kota-kota utama Honduras di sepanjang perbatasan, terutama sebelum Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) bereaksi dengan memberi sanksi apa pun. Pada pertengahan bulan Juli 1969, El Salvador telah siap – dan perang pun tak terhindarkan.
Serangan El Salvador dimulai pada sore hari tanggal 14 Juli, dengan pergerakan bersama dua pasukan, yang berjumlah lebih dari 12.000 orang, terhadap tiga pos perbatasan di dekat kota Nueva Ocotepeque, Gracias a Dios, dan Santa Rosa de Copan. Pos-pos tersebut dengan cepat direbut dan pasukan El Salvador kemudian bergerak maju di sepanjang jalan utama yang menghubungkan kedua negara. Di Medan Perang Utara tentara El Salvador menyertakan unit kecil kendaraan lapis baja untuk melengkapi prajuritnya, sedangkan di Medan Perang Timur menyertakan unit mekanis yang lebih besar dengan tank seperti M3 Stuart, serta senjata otomatis buatan Belgia dan Howitzer M101 kaliber 105mm. Berikutnya tentara El Salvador merebut kota San Juan Guarita, Valladolid, La Virtud, Caridad, Aramecina, dan La Labor. Cabañas tetap bertahan kuat, tetapi itu tidak menjadi masalah karena, saat malam tiba, orang-orang El Salvador mendekati ibu kota Tegucigalpa. Pada saat yang sama, FAS melancarkan serangan “habis-habisan”, mengerahkan semua pesawat yang tersedia untuk menyerang lapangan terbang Honduras dan konsentrasi pasukan di sepanjang perbatasan, serta target-target di pulau-pulau Honduras di Teluk Fonseca. Sekitar pukul 18:10, pesawat C-47 El Salvador yang diterbangkan oleh Mayor Jorge Domínguez dan Fidel Fernandez, tiba di atas Tegucigalpa, kru mereka meluncurkan bom-bom seberat 45 kg dari pintu kargo di lapangan terbang Toncontin. Serangan ini akan didukung oleh dua pesawat Cavalier Mustang, namun tidak pernah mencapai targetnya, sementara C-47 lainnya yang dikirim untuk menyerang Toncontin justru mengebom Catacamas. Sementara itu, pesawat FAS lainnya – termasuk 14 pesawat yang diambil dari operator sipil – mencapai target mereka, semua kecuali satu yang kembali dengan selamat ke lapangan terbang yang berbeda, bukannya ke Ilopango. Pesawat yang hilang adalah TF-51D, yang diterbangkan oleh Kapten Benjamin Trabanino: pesawat ini mendarat di La Aurora IAP, di Guatemala, tampaknya dalam keadaan darurat. Pesawat ini diinternir dan tetap berada di sana hingga akhir perang.
FAH benar-benar terkejut: hampir 50% pesawatnya diparkir di Tegucigalpa (separuh lainnya di La Mesa, yang tidak diserang oleh FAS), dan para pilotnya dibebaskan untuk pulang pada malam itu juga. Pihak Honduras sangat beruntung karena tidak ada satu pun pesawat mereka yang rusak. Empat pesawat Corsair kemudian dikerahkan untuk mengejar C-47 yang menyerang Toncontin, namun mereka tidak dapat melakukan kontak karena malam telah tiba. Serangan C-47 El Salvador tidak terlalu tepat atau efektif, tetapi memiliki efek yang cukup besar pada moral Honduras. Yang terburuk, sebagian besar malam berikutnya, para komandan tinggi FAH harus berdebat dengan para pemimpin militer negara – yang sebagian besar adalah perwira infanteri – bahwa angkatan udara harus menyerang balik, jauh ke dalam wilayah El Salvador, dimana lebih baik menghancurkan cadangan bahan bakar musuh untuk mencegah Angkatan Darat El Salvador maju jauh ke dalam wilayah Honduras. Memang, di darat, Angkatan Darat El Salvador yang memiliki perlengkapan yang lebih baik membuat kemajuan yang baik dan cepat, mendesak satu-satunya batalyon Honduras yang mempertahankan perbatasan sejauh lebih dari delapan kilometer ke arah ibukota departemen Nueva Ocotepeque.
COUNTER OFFENSIF UDARA FAH
Meskipun menerbangkan pesawat-pesawat kuno dari era Perang Dunia II, FAH masih beroperasi sesuai dengan doktrin modern standar, dengan tugas pertama menetralisir kekuatan udara musuh dan menghancurkan instalasi-instalasi yang mendukung kemampuan strategis El Salvador untuk berperang. Sejalan dengan itu, hanya beberapa jam setelah tengah malam, C-47 FAH pertama lepas landas untuk menyerang target-target yang berada jauh di dalam wilayah El Salvador. Dalam misi kontra udara FAH pertama, sebuah C-47 tunggal yang diluncurkan sekitar pukul 01:40 pada pagi hari tanggal 15 Juli, dibatalkan ketika pesawat mengalami kerusakan teknis. Namun, misi kedua mengakibatkan 18 bom dijatuhkan di tempat yang diyakini oleh pilot Dakota – Kapten Rodolfo Figueroa – sebagai bandara Ilopango, pada pukul 04:18 pagi. Tidak ada kerusakan sama sekali: pada kenyataannya, tidak ada laporan dari pihak El Salvador mengenai ledakan apapun di dekat lapangan terbang tersebut. Formasi FAH berikutnya menyusul tak lama kemudian. Pada pukul 04:22, tiga F4U-5N dan satu F4U-4, yang dipimpin oleh Mayor Oscar Colindres, mendekati Ilopango. Melepaskan bom dari ketinggian lebih dari 3.000 meter untuk menghindari dampak terburuk dari tembakan AAA El Salvador. Pilot-pilot Honduras cukup tepat menyerang sasaran. Landasan pacu terdapat kawah di satu tempat, dan bom Mayor Colindres menghantam sebuah hanggar, menyebabkan kerusakan tidak hanya pada bangunan tersebut, namun juga pada sebuah Cavalier Mustang FAS (kemungkinan reruntuhan dari contoh yang jatuh pada tahun 1968) yang terparkir di dalamnya, serta instalasi lain di sekitarnya. Beberapa menit kemudian, pesawat-pesawat Corsair FAH menukik ke Pelabuhan Cutuco dan melepaskan roket-roketnya, menyebabkan kerusakan parah pada kilang bahan bakar di kilang minyak La Union, milik Standard Oil.
Sementara itu, empat Corsair FAH lainnya menyerang tangki bahan bakar di Acajutla. Sekali lagi, tidak ada perlawanan dari FAS. Sebagian besar pesawat pengebom tempur El Salvador sedang sibuk menyerang target-target di Honduras dan El Salvador tidak memiliki jangkauan deteksi radar sama sekali. Akibatnya, serangan tersebut sangat mengejutkan dan menyebabkan banyak kerusakan – bahkan jika pasokan gas butana lokal tidak terkena serangan. El Salvador kehilangan hingga 20% cadangan strategisnya dalam serangan ini saja. Sebagai gantinya, F4U-5N yang diterbangkan oleh Kapten Lopez rusak akibat tembakan AAA, memaksa pilot untuk mengalihkan mendarat ke peternakan El Pilar, dekat Morales, di Guatemala. Pilot dan pesawatnya diinternir dan baru kembali setelah perang usai. Sementara itu, sebuah Cavalier Mustang dan sebuah Corsair FAS menyerang Toncontin, menghindari pesawat tunggal T-28A yang melaksanakan misi CAP di atas Tegucigalpa dengan mendekat pada ketinggian yang sangat rendah. Melewati Corsair FAH yang diterbangkan oleh Letnan Kolonel Jose Serra, yang sedang lepas landas, masing-masing pesawat tempur menjatuhkan dua bom dan kemudian menghantam sasaran yang berbeda, namun tidak ada kerusakan yang berarti. Ketika serangan El Salvador berkembang, pilot T-28 FAH, Letnan Kolonel Roberto Mendoza Garay, diberitahu dan segera melakukan perubahan arah untuk mencegat. Serra sudah mencoba menyerang Cavalier Mustang, tetapi senjatanya macet. Usahanya ini masih cukup untuk membuat pilot FAS berbelok dan melepaskan diri. Sementara itu, Mendoza menyerang FG-1D dan mencetak beberapa tembakan, menyebabkan Corsair FAS itu keluar dari area tersebut dan meninggalkan jejak asap yang tebal. Kapten Reynaldo Cortéz cukup beruntung dapat mengembalikan pesawatnya yang rusak ke Ilopango.
Serangan udara balasan FAH terhadap Ilopango dan depot-depot penyimpanan minyak El Salvador dikatakan berhasil. Meskipun hal ini terkadang masih diperdebatkan, serangan-serangan ini pada akhirnya menyebabkan masalah besar bagi El Salvador, kemudian dengan depot-depot bahan bakar yang terbakar, Angkatan Darat El Salvador akhirnya kehabisan bahan bakar dan harus menghentikan serangannya ke Honduras. Namun demikian, di bawah kesan dari serangan FAS di Toncontin, presiden Honduras kemudian melarang pilotnya untuk menerbangkan serangan lebih lanjut di atas El Salvador. Selama sisa perang, mereka hanya boleh menerbangkan misi CAP defensif atau misi dukungan udara jarak dekat untuk Angkatan Darat Honduras. Sejalan dengan itu, pada pukul 08:00, dua Corsair FAH menyerang pasukan El Salvador di sektor El Amatillo – tanpa hasil yang berguna. FAS tetap aktif, kemudian hampir secara bersamaan sebuah C-47 FAS mengebom jalan menuju Nueva Ocotepeque, sebuah FC-1D FAS menyerang posisi Honduras di Alianza, dan dua FG-1D menyerang di daerah Aramecina. Beberapa menit kemudian, dua F4U FAH yang menyerang posisi El Salvador di dekat Citala bertemu dengan C-47 “FAS-101” FAS, yang diterbangkan oleh Mayor Velasco dan Kapten Panameno. Kolonel Rulio Rivera dari FAH segera menyerang, mengenai sasarannya pada badan pesawat dan salah satu mesin, tetapi Dakota itu berhasil lolos: melakukan pendaratan darurat di Ilopango dan tetap tidak dapat digunakan hingga akhir perang. Tak lama kemudian, Rivera juga mendeteksi sebuah Cavalier Mustang. Setelah pengejaran singkat, pilot Honduras itu menembakkan satu tembakan dari kanon-nya, tetapi tidak berhasil mengenai sasaran. Dengan ini, aktivitas tempur kedua angkatan udara telah berakhir – untuk hari itu. Pesawat-pesawat angkut FAS tetap aktif, kemudian pasukan El Salvador merebut sebuah landasan udara di dekat San Marcos Ocotepeque. Ini kemudian dengan cepat dipersiapkan untuk dapat menerima C-47 dan dimanfaatkan dengan baik.
GERAK MAJU EL SALVADOR
Pada pagi hari tanggal 16 Juli, pasukan Angkatan Darat El Salvador mengamankan Nueva Ocotepeque dan melanjutkan pergerakan mereka di sepanjang jalan raya menuju Santa Rosa de Copan, dengan didukung oleh sebuah C-47 FAH dan dua pesawat Mustang. Dua pesawat Mustang tambahan akan lepas landas dari Ilopango, ketika mereka bertabrakan karena kerusakan mekanis pada salah satu pesawat. Keduanya mengalami kerusakan berat. Dengan demikian, FAS kehilangan empat pesawat dalam waktu hampir dua hari operasi. Dengan moral yang anjlok karena kehilangan pesawat dan masalah pemeliharaan, angkatan udara El Salvador secara efektif tidak beroperasi selama sisa hari itu. FAH kemudian menggunakan kesempatan ini untuk mengangkut seluruh Batalyon Guardia de Honor dari Tegucigalpa ke Santa Rosa de Copan. Empat pesawat C-47 dikerahkan untuk tugas ini, dan mereka mengangkut 1.000 tentara bersama dengan peralatan mereka sepanjang hari, yang sepanjang waktu dikawal oleh pesawat-pesawat Corsair dan T-28. Sementara itu, lima pesawat Corsair, dua AT-6, tiga T-28A, dan satu C-47 digunakan untuk menyerang unit-unit El Salvador di garis depan El Amatillo. Menerbangkan 13 sorti pada siang hari, mereka terbukti menentukan dalam menghentikan serangan. Sisanya dilakukan oleh pasukan Angkatan Darat Honduras. Serangan mereka pada akhirnya memaksa pasukan El Salvador untuk mundur.
MAYOR SOTO VS EL SALVADOR
Pada pagi hari tanggal 17 Juli 1969, pasukan Angkatan Darat El Salvador dan Honduras terjebak dalam sebuah pertempuran antara Nueva Ocotopeque dan Santa Rosa de Copan. Pasukan El Salvador maju dengan semangat tinggi, tetapi Batalyon Guardia de Honor Honduras – yang didukung oleh pesawat-pesawat Corsair dari Toncontin dan La Mesa – memberikan perlawanan penuh semangat. Pertempuran sengit juga terjadi di garis depan El Amatillo, dan sekitar tengah hari, tiga pesawat Corsair – yang diterbangkan oleh Mayor Fernando Soto Henriquez, Edgardo Acosta, dan Francesco Zapeda – bergegas menyerang posisi artileri El Salvador di daerah tersebut. Mendapati bahwa senjatanya macet, Zapeda membatalkan misinya dan kembali sendirian ke Toncontin. Ketika sedang dalam perjalanan, dia dicegat oleh dua Cavalier Mustang FAS, yang dipimpin oleh Kapten Douglas Varela. Pasukan El Salvador menyerang pesawat tempur Honduras yang tidak bersenjata itu, namun Zapeda berhasil menghindar cukup lama sehingga Soto dan Acosta dapat kembali dan membantu. Setelah pertempuran singkat, Varela ditembak jatuh oleh Mayor Fernando Soto, sementara pesawat Mustang lainnya, yang diterbangkan oleh Kapten Lobo, menghindar dengan terbang pada ketinggian yang sangat rendah ke arah Teluk Fonseca. Masih belum jelas apakah Varela yang nahas itu terjun payung dengan selamat dan terbunuh di atas tanah, atau terjun payung dengan luka parah, atau jatuh dalam pesawatnya. Pertempuran udara yang sukses yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Corsair FAH diikuti oleh serangan udara dari pesawat-pesawat C-47, AT-6 dan T-28 Honduras terhadap posisi artileri El Salvador. Kekalahan Varela sangat memukul FAS. Angkatan udaranya sudah kekurangan pilot berpengalaman. Bahkan jika sejumlah penerbang cadangan yang berpengalaman dimobilisasi, tidak ada cukup pilot untuk semua pesawat Mustang dan Corsair, dan akibatnya El Salvador harus mempekerjakan lima tentara bayaran – termasuk Jerry DeLarm dan “Red” Gray. Mereka kemudian terbukti tidak terlalu bersemangat untuk terlibat dalam pertempuran udara dengan pesawat-pesawat Corsair Honduras. Pada kenyataannya, menurut para veteran FAS yang masih hidup, baik DeLarm maupun Gray lebih suka menanjak dan melarikan diri saat bertemu dengan pesawat tempur FAH – sering kali mereka meninggalkan pilot-pilot El Salvador yang seharusnya mereka lindungi.
Namun demikian, FAS harus terus bertempur. Pada sore hari, dua FG-1D diterbangkan dari Ilopango untuk melakukan misi CAP di atas El Amatillo. Hampir di daerah itu, mereka bentrok dengan dua CorsairFAH, sekali lagi dipimpin oleh Mayor Soto Henriquez – yang pada gilirannya sedang berusaha menghabisi unit-unit lokal El Salvador. Soto adalah salah satu pilot paling berpengalaman di angkatan udara Honduras. Melihat lawan-lawannya menjauh ke arah perbatasan, Mayor Soto memutuskan untuk tidak mematuhi perintah tetapnya dan mengikuti mereka ke El Salvador. Beberapa menit kemudian, dia akhirnya berakhir di belakang FG-1D yang diterbangkan oleh Kapten Cezena (menerbangkan FAS-204). Menyerang dengan kanon kaliber 20mm, Soto mencetak tembakan di badan pesawat dan sayap, memaksa Cezena untuk mengeluarkan diri. Kemudian pertempuran udara klasik terjadi antara dua pesawat Corsair, satu dibuat oleh Vought dan yang lainnya oleh Goodyear, memulai pertarungan manuver klasik masing-masing terbang melebar, menukik, dan memutar untuk mendapatkan bidikan yang jelas satu sama lain. Saat itu pilot El Salvador lainnya, Kapten Cortéz berada di belakang Soto dan mencetak beberapa tembakan. Soto menghindar dan, setelah beberapa manuver keras yang menurut Soto “seperti seabad”, Soto melakukan manuver split-S yang membuatnya berakhir di belakang Cortéz. Menembakkan beberapa tembakan dari kanon kaliber 20 mm kemudian FG-1D kedua FAS meledak, menewaskan pilotnya. Wingman Soto, Mayor Acosta, tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Setelah mengalami masalah dengan radionya, ia melihat dua Cavalier Mustang FAS berada di atas, tampaknya sedang menunggu kesempatan untuk menyerang. Acosta melepaskan diri dengan menukik cepat dan kembali dengan selamat ke Toncontin. Kemenangan Soto ini adalah pertempuran udara-ke-udara terakhir antara Honduras dan El Salvador, dan Soto mengakhiri perang dengan hanya tiga kemenangan udara yang tercatat. Dia kemudian akan menjadi direktur penerbangan sipil dan dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Kongres Nasional Honduras pada tahun 2003. Dia meninggal tiga tahun kemudian. Sementara itu, dengan kemenangan udara Mayor Soto Henriquez yang kedua dan ketiga, yang diperoleh dalam pertempuran yang sama, FAH secara efektif membangun keunggulan udara atas Honduras – dan dengan demikian diatas medan perang. Hal ini terutama karena moral – yang sudah rendah – di dalam FAS benar-benar hancur ketika pada sore hari yang sama, sebuah FG-1D dan pilot berpengalaman lainnya, Kapten Mario Echeverria, ditembak jatuh, kali ini oleh AAA El Salvador, di atas Teluk Fonseca. Pukulan terakhir kemudian diberikan oleh aksi gabungan Angkatan Darat Honduras dan FAH. Pada sore hari tanggal 17 Juli, satu barisan Garda Nasional El Salvador disergap di sekitar peternakan San Rafael de Matrás dan kemudian diserang oleh dua pesawat Corsair FAH. Unit El Salvador ini menderita lebih dari 30 korban tewas dan luka-luka.
GENCATAN SENJATA PERTAMA
Sementara C-in-C FAS, Mayor Henriquez, berjuang keras untuk membawa F-51 Mustang tambahan – yang diperoleh secara sembunyi-sembunyi di Amerika Serikat – ke dalam layanan operasional, FAH dapat melanjutkan operasinya untuk mendukung Angkatan Darat di lapangan tanpa terlalu banyak gangguan. F4U dari Toncontin pertama-tama menghantam posisi El Salvador di dekat San Marcos Ocotepeque dan Llano Largo dengan bom napalm, dan kemudian di bukit El Ujuste, sementara pesawat-pesawat Corsair dari La Mesa mengebom pasukan El Salvador di daerah Chalatenago. Menjelang sore hari, pasukan Honduras bergerak maju di daerah El Amatillo dan di tempat lain – hingga dihentikan oleh perintah dari Komando Tertinggi, sekitar pukul 21.30 malam. Pada awal hari itu, perwakilan OAS akhirnya turun tangan dalam konflik tersebut, memerintahkan kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata, yang berlaku mulai pukul 22.00, serta meminta penarikan pasukan El Salvador dari wilayah Honduras yang diduduki. Rezim di Tegucigalpa siap untuk menghentikan pertempuran, tetapi pemerintah El Salvador menolak untuk mematuhinya, dan sebaliknya – mengingat keberhasilan awal – mempertimbangkan peluang untuk bergerak maju ke Tegucigalpa. Akan tetapi, operasi semacam itu berada di luar kemampuan militer El Salvador, terutama mengingat fakta bahwa pada saat itu FAH menguasai langit. FAS sendiri juga bisa berharap untuk dapat kembali menguasai langit karena pada pagi hari tanggal 19 Juli, pesawat pertama dari tujuh pesawat Mustang yang dibeli di Amerika Serikat mulai berdatangan. Akibatnya, pertempuran terus berlanjut – bahkan setelah OAS menyatakan El Salvador sebagai negara agresor.
Mematuhi gencatan senjata, FAH menghabiskan tanggal 19 Juli di darat. Akan tetapi, FAS menggunakan kesempatan itu untuk menerbangkan beberapa C-47 yang memuat pasokan ke landasan udara dekat San Marcos de Ocotepeque dan membawa amunisi yang sangat dibutuhkan untuk pasukan di garis depan. Pada saat yang sama, para teknisi bekerja dengan tergesa-gesa untuk mempersenjatai kembali tujuh pesawat Mustang yang telah tiba dari Amerika Serikat. Untuk memperkuat posisi mereka, pada tanggal 27 Juni, pasukan Honduras melancarkan serangan ke lima kota perbatasan El Salvador. Pertempuran berlanjut hingga tanggal 29 Juli, ketika OAS menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap El Salvador. Misi pasokan FAS kemudian berlanjut hingga bulan Agustus, dengan dikawal oleh pesawat-pesawat Mustang yang baru dibeli. Akhirnya meninggalkan wilayah Honduras pada tanggal 2 Agustus 1969, El Salvador menerima janji dari pemerintah Arellano bahwa para imigran yang tinggal di Honduras akan dilindungi. Sebagai kesimpulan dari konflik ini, dapat dikatakan bahwa aksi udara benar-benar menentukan. Perang ini terjadi di daerah pegunungan, di mana komunikasi darat sangat buruk. Kedua belah pihak tidak memiliki artileri yang dapat digerakkan sendiri, dan pergerakan unit apa pun sangat bermasalah. Dalam keadaan seperti itu, ketersediaan dukungan udara jarak dekat, atau serangan interdiksi terhadap jalur komunikasi musuh serta depot pasokan, sangat menentukan. FAH yang sedikit lebih besar – dalam hal pesawat tempur yang tersedia – tidak hanya menghancurkan kekuatan FAS secara besar-besaran, tetapi juga merusak fasilitas penyimpanan minyak El Salvador. Pencapaian pertama secara praktis melumpuhkan angkatan udara El Salvador, sementara pencapaian kedua – bisa dibilang – memaksa Angkatan Darat El Salvador untuk menghentikan gerak maju mereka. Fakta bahwa FAH berhasil membangun superioritas udara di dalam wilayah udaranya sendiri, tanpa mengalami kerugian, membuka jawaban atas pertanyaan apa yang mungkin terjadi jika Komando Tinggi Honduras mengizinkan angkatan udara menerbangkan serangan udara tambahan terhadap depot-depot penyimpanan minyak El Salvador, seperti yang diminta oleh pimpinan FAH. Jelas, kekuatan udaranya dapat memainkan peran utama dalam konflik ini.
Meskipun sumber-sumber yang berbeda – terutama dari pihak El Salvador – bersikeras bahwa Fuerza Aérea Hondureña mengalami kerugian hingga delapan pesawat Corsair selama perang, faktanya semua Corsair FAH dapat dilacak keberadaannya, dan jelas tidak ada yang hilang pada tahun 1969 (sebaliknya, semuanya dijual di AS, pada tahun 1974, termasuk reruntuhan dua F4U yang dihapuskan dari dinas operasional dalam insiden-insiden setelah Perang 100 Jam). Ada kemungkinan bahwa FAH kehilangan beberapa pesawat AT-6 dan BT-13 yang terbengkalai, yang digunakan sebagai umpan di Toncontin atau lapangan terbang lainnya. Tanpa disangka-sangka – dan meskipun mengalami kerugian besar di lapangan – konflik yang pahit ini menimbulkan rasa nasionalisme dan kebanggaan nasional Honduras yang baru, dengan tanggapan rakyat terhadap pertempuran – secara tidak langsung – memberikan kesan yang kuat bagi para penguasa dan berkontribusi pada peningkatan pengeluaran untuk pembangunan nasional dan kesejahteraan sosial. Hasil lainnya adalah bahwa FAH sangat diperkuat pada tahun 1970-an, berkembang menjadi salah satu angkatan udara Amerika Latin yang paling lengkap kekuatannya dan paling disegani. Di sisi lain, FAS tidak hanya mengalami masalah yang luar biasa ketika mencoba untuk mendukung angkatan darat yang bergerak maju atau mempertahankan pesawat yang tersedia agar tetap beroperasi, tetapi juga menderita kerugian besar. Serangan udara balasan pembuka El Salvador gagal total, dan kemudian FAS menyerah dengan posisi komandannya yang lemah di dalam junta militer. Sebagai seorang mayor yang dikelilingi oleh para jenderal infantri, Henriquez tidak dapat memperoleh dukungan yang cukup untuk angkatan udaranya. Tanpa dukungan ini, pasukan darat El Salvador yang bergerak maju ke Honduras bergantung pada belas kasihan FAH. Akibatnya, operasi FAS berikutnya terlalu sedikit dan terlambat, terutama ketika pasukannya mulai mengalami kekalahan. Mengingat ukurannya yang kecil, masing-masing merupakan pukulan berat, terutama karena empat pilotnya yang sangat berpengalaman tewas. Hal yang sama dirasakan adalah dalam hal kehilangan pesawat. Untuk angkatan udara yang berperang dengan 12 Mustang dan FG-1D bermesin piston, kehilangan empat Corsair saja sudah merupakan malapetaka; apalagi ketika korban di dalam komunitas Mustang ditambahkan, kesimpulannya adalah FAS hampir bertempur hingga “kekuatan terakhirnya.” Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Angkatan Udara El Salvador keluar dari konflik dengan gengsi yang tinggi, jika tidak ada alasan lain selain karena ikut ambil bagian dalam apa yang dianggap sebagai kemenangan militer El Salvador.
Namun, secara keseluruhan, seperti banyak konflik lain di belahan dunia ini, Perang 1969 antara Honduras dan El Salvador menghasilkan kerugian dan kerusakan yang sangat besar di kedua belah pihak. 900 warga sipil El Salvador kehilangan nyawa, sementara 300.000 lainnya mengungsi. Honduras kehilangan lebih dari 2.000 warga sipil dan sekitar 250 tentaranya, sementara ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal. Ekonomi kedua negara sangat menderita, karena perdagangan terganggu dan perbatasan kedua negara ditutup. Tergantung pada sumber-sumber yang ada, antara 60.000 hingga 130.000 orang El Salvador harus diusir secara paksa atau melarikan diri dari Honduras, yang mengakibatkan gangguan ekonomi besar-besaran di kedua negara. Kedatangan imigran El Salvador kembali ke negara asal mereka, yang sudah kelebihan penduduk menyebabkan ketidakstabilan ekonomi di El Salvador. Tidak dapat menangani masuknya warganya sendiri, El Salvador menjadi semakin miskin dan kemudian mengalami perang saudara selama 12 tahun. Kedua angkatan udara tetap berada dalam kondisi siaga tinggi setelah permusuhan berakhir. Sementara itu, FAS, yang diperkuat dengan kekuatan sekitar sebelas Mustang dari berbagai tipe (rata-rata sepuluh di antaranya beroperasi), dirotasi antara dua dan enam pesawat tempur ke lapangan terbang di San Miguel dan Santa Ana, setiap minggu hingga bulan Oktober 1969. Dua Corsair yang masih beroperasi tetap bermarkas di Ilopango, dan menerbangkan misi CAP secara teratur di atas ibu kota. Lapangan terbang Madre Sal tidak digunakan sebanyak sebelumnya, terutama karena masalah dalam memasok bahan bakar dan suku cadang. Berakhirnya perang menandai dimulainya perlombaan senjata antara kedua negara. Pada awalnya, FAS berusaha untuk menambah jumlah Mustang yang tersedia, tetapi pemerintah AS menggagalkan semua upaya tersebut. Oleh karena itu, pencarian pesawat pembom tempur baru terus berlanjut selama beberapa tahun, namun hasilnya berbeda.
Sementara itu, pada Oktober 1969, FAS membeli dua Douglas B-26B Invader dari AS. Kedua pesawat ini diberi nomor seri 600 dan 601, dan dicat dengan versi kamuflase SEA USAF. Karena FAS kekurangan pilot yang memenuhi syarat, dua perwira mengikuti kursus konversi. Empat Invader tambahan – tiga di AS dan satu di Guatemala – diakuisisi pada tahun 1970. Sebagian besar B-26 berada dalam kondisi yang buruk dan membutuhkan upaya besar dari para teknisi FAS untuk bisa dibawa ke dalam kondisi “layak terbang”. Pada kenyataannya, B-26C bekas Guatemala tampaknya tidak pernah diperbaiki, melainkan digunakan sebagai sumber suku cadang, sementara tempat bom dari semua pesawat tidak pernah beroperasi. Namun demikian, lima Invader memasuki layanan dengan Escuadron de Bombardero yang baru didirikan, meskipun hanya tiga pesawat yang beroperasi secara rata-rata. Armada Invader El Salvador yang kecil hanya bertugas sebentar: pada tahun 1972, keputusan diambil untuk menjualnya kembali ke Amerika Serikat dan sebagai gantinya dibeli pesawat tempur baru – kali ini tipe jet. Honduras mengikutinya, menjadi angkatan udara Amerika Latin terakhir yang memperoleh B-26. Satu Invader – “Bacardi Bomber” yang disegani (awalnya dibangun sebagai pesawat bernomor seri 44-35918) – diperoleh dalam keadaan suram dari Kosta Rika. Di bawah kesulitan teknis yang besar, pesawat – awalnya dibangun sebagai B-26B, tetapi sementara itu dibangun kembali menjadi sub-varian B-26C, dan serial FAH-510 – mulai beroperasi pada akhir 1970. Sudah pada 16 Maret 1971, pesawat itu dibuat mendarat darurat di lapangan terbang San Pedro Sula, dan dihapuskan dari dinas operasional. Setelah rekonstruksi secara ekstensif, pesawat itu dikembalikan ke layanan operasional, untuk pensiun hanya pada awal tahun 1980, ketika dijual kembali ke AS.
Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:
El Salvador vs Honduras, 1969: The 100-Hour War By Tom Cooper with March Coelich; Sep 1, 2003, 11:48
https://web.archive.org/web/20060615193519/http://www.acig.org/artman/publish/article_156.shtml
Honduras v El Salvador: The football match that kicked off a war By Toby Luckhurst; BBC News; 27 June 2019
https://www.bbc.com/news/world-latin-america-48673853.amp
The Real Football War! When El Salvador Invaded Honduras Over a Soccer Game by Shahan Russell
https://www.warhistoryonline.com/history/the-real-football-war.html/amp?prebid_ab=enabled
Latin America: The Football War By Kennedy Hickman; Updated on October 03, 2019
https://www.thoughtco.com/latin-america-the-football-war-2360853
The Last Piston-Engine Dogfights by Preston Lerner; September 2015
https://www.smithsonianmag.com/air-space-magazine/last-piston-engine-dogfights-180956250/
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Football_War
Masa lalu yang bermasalah
Honduras dan El Salvador adalah negara-negara miskin yang punya hubungan sejarah yang rumit.
Keduanya bagian dari blok lima negara Amerika Tengah yang memproklamasikan kemerdekaan dari Spanyol pada tanggal 15 September 1821. Mereka membentuk federasi yang bertahan hingga 1838.
Sesudah federasi pecah, Honduras menjadi negara dengan wilayah lima kali lebih luas daripada El Salvador, dan ada masalah sengketa perbatasan antara keduanya.
Penduduk El Salvador lebih banyak dan pada tahun 1969, jumlahnya satu juta lebih banyak ketimbang Honduras.
Tekanan demografi ini membuat ribuan orang El Salvador migrasi ke Honduras sejak awal abad keduapuluh, terutama untuk bekerja di sektor pertanian.
Namun sebuah undang-undang reformasi agraria disahkan di Honduras pada tahun 1962 dan dijalankan pada tahun 1967.
Hasilnya adalah pengambilalihan lahan milik migran dari El Salvador yang lantas didistribusikan ke penduduk Honduras.
Lahan ini diambil dari petani dan penghuni migran, tak peduli klaim ataupun status imigrasi mereka.
Ini menimbulkan masalah bagi orang El Salvador dan Honduras yang menikah.
Pengambilalihan lahan ini dipromosikan oleh pemilik lahan besar di Honduras, termasuk perusahaan internasional seperti United Fruit Company.
Ribuan pekerja El Salvador diusir dari Honduras, dan langkah ini diprotes oleh pemerintah El Salvador yang menuduh terjadi perlakuan kasar dan penyiksaan.
Lalu datanglah kualifikasi Piala Dunia 1970, kedua negara berhadapan di pertandingan semi final.
Sumber gambar, Getty Images
Honduras menang di pertandingan kandang 1-0 tanggal 8 Juni, tapi ini dilakukan dengan dukungan suporter yang membuat suara ribut luar biasa di depan kamar hotel para pemain El Salvador di ibukota Honduras Tegucigalpa.
"Suporter mereka menutup jalan, dan semua mobil yang lewat membunyikan klakson dengan sangat keras. Kami tak bisa tidur sama sekali," kata bekas anggota kesebelasan El Salvador, Salvador Mariona kepada BBC tahun 2009.
Seminggu kemudian, El Salvador menang 3-0 dalam pertandingan kedua dan pendukung mereka juga membuat suara ribut yang sama tidak bersahabatnya.
Pertandingan tambahan di Mexico City terpaksa diadakan.
Sebelum pertandingan dimulai, ketegangan meningkat dengan sangat cepat.
Pers Honduras mengeksploitasi kabar bahwa dua orang pendukung Honduras terbunuh sebelum pertandingan, dan mobil dengan nomer Honduras dirusak.
Sumber gambar, Getty Images
Tanggal 26 Juni, sehari sebelum pertandingan di Mexico City, pemerintahan militer El Salvador (Honduras juga dipimpin pemerintahan militer) mengumumkan memburuknya hubungan diplomasi kedua negara.
Pihak berwenang juga mengundang pemain dan memberi mereka pidato untuk menyemangati.